HIV/AIDS di Wilayah Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia Wilayah Asia Timur dan Pasifik HIV/AIDS di Wilayah Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia Unit Sektor Pengembangan Sumber Daya Manusia Wilayah Asia Timur dan Pasifik Desember 2003 Wilayah Asia yang memiliki populasi hampir setengah populasi dunia dapat menjadi penentu pandemi global HIV/AIDS di masa mendatang. Jika tingkat prevalensi di Cina, Indonesia dan India mencapai tingkat prevalensi seperti di Thailand dan Kamboja, maka prevalensi HIV/AIDS global dapat menjadi dua kali lebih besar. Pertumbuhan seperti ini akan sangat berpengaruh bagi setiap individu­di samping juga akan berpengaruh terhadap sistem kesehatan, ekonomi dan tatanan sosial di wilayah ini. Oleh karena itu HIV/AIDS merupakan tantangan pembangunan multisektoral dan menjadi prioritas Bank Dunia. Buklet ini menjabarkan arah strategis Bank Dunia dalam merespon HIV/AIDS di wilayah Asia Timur dan Pasifik.1 Di dalamnya dijelaskan risiko terjadinya epidemi HIV/AIDS berskala besar di wilayah ini. Buklet ini juga memaparkan berbagai pilihan dalam merespon epidemi HIV/AIDS: apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sipil dan mitra lainnya. Di samping itu, dijelaskan pula bagaimana Bank Dunia dapat membantu di tingkat negara dan regional. Karakteristik HIV/AIDS di wilayah Asia Timur dan Pasifik Pola perkembangan HIV/AIDS di wilayah dunia lainnya tidak dapat digunakan untuk memprediksi epidemi di Asia Timur. Wilayah Asia Timur kemungkinan akan mengalami epidemi yang terkonsentrasi pada kelompok dengan perilaku berisiko tinggi, dengan penyebaran kepada pasangan dan anak mereka. 2 Proyeksi HIV UNAIDS untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia Ribu Sumber: UNAIDS Juta ru 14 100 W Tim 12 80 ilayah Asia 10 Asia Timur Pasifik Pasifik 8 60 Wilayah 6 40 4 20 2 0 0 2002 2005 2010 UNAIDS memperkirakan, akan terdapat 11 juta kasus HIV/AIDS baru di wilayah ini pada tahun 2010. Namun, proyeksi ini didasarkan pada data yang terbatas. Untuk dapat melakukan proyeksi secara akurat, perlu diketahui berapa jumlah orang yang terinfeksi serta berapa jumlah orang yang memiliki perilaku berisiko untuk tertular HIV/AIDS. Di wilayah Asia Timur dan Pasifik, epidemi tingkat rendah biasanya dimulai di antara para penjaja seks komersial yang melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan dengan pelanggannya, penyalahguna napza suntik yang menggunakan alat suntik bersama, atau pria yang berhubungan seksual tanpa perlindungan dengan pria lainnya. Sejalan dengan penyebaran HIV di kelompok-kelompok ini, konsentrasi penderita HIV di populasi inipun menjadi semakin tinggi; selanjutnya penyebaran dapat terjadi antar populasi ini ­ dan kemungkinan menyebar ke seluruh populasi.2 Ketika HIV mendekati ambang jenuh di populasi dengan perilaku berisiko dan pertumbuhan HIV lebih besar dari 1% di seluruh populasi, epidemi disebut sebagai generalized (meluas). Arah pertumbuhan HIV dipengaruhi oleh besarnya populasi berisiko dan struktur tumpang-tindihnya. 3 Tahapan Epidemi HIV/AIDS di Wilayah Asia Timur dan Pasifik, per Negara Meluas Meluas Tinggi Kamboja Thailand Prevalesi di Besarnya Populasi Myanmar lingkaran disesuaikan Papua N. Guinea dengan besarnya populasi negara Filipina Malaysia secara Vietnam Cina proporsional Mongolia Laos Indonesia Rendah Rendah Rendah Terkonsentrasi Terkonsentrasi Rata-rata Prevalensi HIV/AIDS di Kelompok dengan perilaku berisiko Tinggi (Skor) *Catatan: (1) Y axis, negara diskor secara berurutan dari yang terbesar menurut rata-rata prevalensi HIV/AIDS (weighted) tertinggi di kelompok dengan perilaku berisiko; (2) Data yang tersedia dari tahun 1994 hingga 2003 ˇ Meluas: lebih besar dari 1% pada wanita yang mengunjungi klinik antenatal ˇ Terkonsentrasi: Lebih besar dari 5% pada pasien IMS dan kelompok berisiko lainnya ˇ Rendah: Kurang dari 1% pada pasien IMS dan kelompok berisiko lainnya Meskipun data terbatas, epidemi di wilayah Asia Timur dan Pasifik diprediksi berkisar antara prevalensi yang serupa dengan di wilayah Sub- Sahara hingga prevalensi kurang dari 1 persen di seluruh populasi. Namun, tidak dapat diragukan adanya potensi epidemi yang besar di berbagai negara, seperti Cina, Indonesia dan Papua Nugini. Program bersama PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) memperkirakan bahwa epidemi dapat cukup luas meskipun tidak menjadi epidemi tergeneralisir di seluruh propinsi. Diperkirakan bahwa epidemi yang signifikan dengan prevalensi lebih dari 3-5 persen dapat terjadi di populasi dewasa karena besarnya kelompok dengan perilaku berisiko tinggi.3 Mengingat kelompok-kelompok ini saling tumpang tindih, epidemi dapat menjadi saling mendukung (self-sustaining) walaupun tidak menyebar ke kelompok dengan risiko rendah. 4 Estimasi kasus tuberkulosis: Rate per 100,000 (2003) Sumber: WHO Report 2003: Global Tuberculosis Control: Surveillan ce, Planning, Financing Kamboja Filipina Indonesia Papua Nugini Mongolia Vietnam Myanmar Laos Thailand Malaysia Cina 0 100 200 300 400 500 600 700 Implikasi bagi sektor kesehatan dan sektor lain AIDS membuat penderitanya lebih rentan terhadap infeksi oportunistik. Hal ini akan memicu peningkatan infeksi tuberkulosis (TB) di wilayah ini yang jumlahnya sudah cukup besar dan mewakili hampir sepertiga dari beban TB global.4 Tingginya peningkatan TB di penderita HIV akan menyebabkan dua epidemi yang serius. Secara global, TB sudah menjadi penyebab kematian utama di antara penderita HIV, yang jumlahnya mencapai sepertiga dari kematian karena AIDS di seluruh dunia.5 Peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS dan tuberkulosis akan meningkatkan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan serta menambah beban sistem kesehatan publik yang sudah kelebihan beban, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat miskin. Efek ini akan meluas ke sektor lainnya, karena keluarga kehilangan pencari nafkah dan akan menggunakan dana mereka yang terbatas untuk pelayanan kesehatan. HIV juga dapat merusak tatanan sosial karena memecah-belah keluarga, mengakibatkan banyaknya yatim-piatu dan menyebabkan rumah tangga jatuh dalam kemiskinan. Secara umum, HIV/AIDS dapat menyebabkan penurunan sumber daya manusia secara signifikan, karena menyebabkan kematian penduduk usia muda dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, HIV/AIDS merupakan ancaman dalam pembangunan dan pencapaian Millennium Development Goals. 5 Pengalaman Regional Di wilayah yang beragam seperti Asia Timur dan Pasifik, ada beberapa pengalaman yang dapat ditarik. Berikut ini beberapa pengalaman dalam memerangi HIV/AIDS di Thailand, Filipina, Indonesia dan Papua Nugini. Dalam menghadapi epidemi yang meluas, Thailand berada di garis terdepan dalam program pencegahan, mobilisasi masyarakat sipil dan pembentukan komitmen politis. Pada tahun 1992, 31 persen penjaja seks komersial positif mengidap HIV, dan terlihat tanda-tanda bahwa HIV telah menyebar ke kelompok heteroseksual. Respon di tingkat nasional kuat, cepat dan komprehensif, dengan komitmen politis yang kuat dari Raja dan Perdama Menteri. Respon multisektoral ini dilengkapi dengan sistem surveilans yang canggih; termasuk surveilans serologi atas populasi umum dan surveilans sentinel atas kelompok dengan perilaku berisiko, dan surveilans untuk memonitor perilaku berisiko. Informasi ini didukung oleh kepemimpinan yang kuat untuk mendukung program pencegahan HIV di antara penjaja seks komersial dan pelanggannya. Hasilnya adalah penurunan nyata pada perilaku berisiko tinggi, panurunan kasus HIV baru dan akhirnya penurunan tingkat infeksi HIV di populasi umum. Tetapi transmisi HIV/AIDS di kalangan penyalahguna napza suntik tetap tinggi dan program pencegahan mengalami penurunan terutama setelah krisis ekonomi di Asia pada tahun 1998. Dikhawatirkan bahwa perubahan perilaku di awal epidemi menjadi turun karena adanya pandangan bahwa risiko telah berkurang dan program pencegahan menjangkau lebih sedikit orang. Filipina adalah cerita sukses lain walaupun dalam konteks yang sama sekali berbeda. Epidemi di Filipina dipengaruhi oleh beberapa faktor kontekstual (praktik seks komersial yang berbeda, tingkat penyalahguna napza suntik yang rendah, tingkat pratik sunat yang tinggi dan infeksi yang ditularkan melalui luka seksual yang lebih rendah). Respon terhadap epidemi yang dilakukan di Filipina­ reformasi hukum nasional untuk mengurangi terjadinya diskriminasi, tersedianya pelayanan konseling dan tes sukarela secara luas, dan sistem surveilans yang memadai­telah menjaga tingkat prevalensi rendah dan stabil. Pengalaman Indonesia menunjukan perlunya mempertahankan komitmen politis pada keadaan tingkat epidemi rendah. Pada tahun 1996 pemerintah 6 mengidentifikasi pentingnya intervensi awal untuk mencegah epidemi dengan memobilisasi inisiatif dan dana. Beberapa program dirancang untuk merespon epidemi yang diproyeksikan akan terjadi. Namun demikian, banyak di antara upaya ini tidak dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini adalah krisis ekonomi yang parah dan terbatasnya kapasitas. Tanggung-jawab terhadap HIV/AIDS terbagi di beberapa unit di Departemen Kesehatan, namun unit- unit tersebut kurang berkoordinasi. Kapasitas organisasi non-pemerintah untuk kegiatan pencegahan serta dukungan dari beberapa sektor masyarakat sipil, terutama kelompok agama, juga terbatas. Namun demikian, prevalensi HIV tetap rendah, dan epidemi yang diprediksi akan terjadi, ternyata tidak terjadi. Arah perkembangan HIV/AIDS kemudian berubah dengan tingkat prevalensi 60 persen di antara penyalahguna napza di beberapa daerah. Belakangan ini, komitmen dari pemerintah tampak meningkat dengan disusunnya strategi baru untuk menanggulangi HIV/AIDS yang meliputi pencegahan HIV pada kelompok dengan perilaku berisiko tinggi. Papua Nugini menghadapi risiko epidemi yang mirip dengan epidemi di wilayah Sub Sahara Afrika karena terbatasnya kapasitas dan budaya yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lainnya di wilayah ini. Meskipun berbagai tanda atas munculnya epidemi meningkat di awal 7 1990, tidak banyak pemimpin yang menganggap HIV/AIDS sebagai isu yang memprihatinkan. Setelah menyadari adanya masalah, upaya-upaya awal sulit dipertahankan. Komite nasional AIDS hanya berfungsi secara sporadis dari tahun 1988 sampai 1994, dan upaya untuk membentuk surveilans sentinel terhambat. Upaya-upaya terkini telah berhasil merevitalisasi beberapa program, namun, sampai saat ini, terbatasnya kapasitas sistem kesehatan, buruknya implementasi program HIV secara umum, dan kekurangan sumber daya manusia telah menghambat upaya ini. Selain itu, berubahnya metode tradisional untuk kontrol sosial di Papua Nugini, dikombinasi dengan ekonomi tunai (cash economy), urbanisasi dan mobilitas yang tinggi, menyebabkan terjadinya perubahan signifikan dalam perilaku seksual. Faktor-faktor ini menempatkan Papua Nugini pada risiko mengalami epidemi HIV/AIDS yang luas pada kelompok heteroseksual. Negara-negara lain akan menghadapi tantangan yang sama. Menentukan kedalaman dan luasnya pengalaman di berbagai negara di wilayah ini merupakan pekerjaan yang sulit. Contoh yang telah ditampilkan di atas menunjukkan berbagai pengalaman penting. Epidemi terkonsentrasi di Cina, Vietnam dan Malaysia memperlihatkan berbagai kombinasi proyek, respon dan input. Sangat disayangkan bahwa seluruh negara memiliki potensi kuat untuk pertumbuhan HIV, terutama Cina. Epidemi yang muncul di Cina diperkirakan akan menjadi tantangan besar dalam waktu dekat. Kasus HIV dan AIDS akan meningkat dan menyebar dari populasi berisiko tinggi ke seluruh populasi.6 Cina telah mencapai kemajuan dengan adanya sistem donor darah sukarela dan didirikannya infrastruktur yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan suplai darah. Selain itu, pemerintahan pusat Cina akhir-akhir ini menekankan komitmennya untuk mencapai tujuan United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGASS). Mereka berencana untuk meningkatkan hukum dan peraturan, melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, melindungi hak orang dengan HIV/AIDS, meningkatkan kerjasama internasional untuk HIV/AIDS, dan memberikan pengobatan anti-retroviral. Banyak negara lain yang telah menyusun strategi nasional AIDS yang serupa; tetapi yang dibutuhkan adalah tindakan. Bagaimana strategi dan pengalaman diadopsi dan diadaptasi di wilayah Asia Timur akan menentukan masa depan epidemi dan situasi sosial dan ekonomi masyarakat Asia. 8 Mitra dalam Upaya: Pemerintah, donor, dan pihak lainnya Komitmen politis yang kuat merupakan kunci utama dalam menghadapi epidemi ini. Tetapi sumber daya juga merupakan hal penting. Meskipun telah diperoleh komitmen yang tinggi dari berbagai pemerintahan, pendanaan masih rendah. Sumber pendanaan untuk pencegahan dan surveilans HIV/AIDS di wilayah ini berasal dari badan-badan pembangunan bekerja sama dengan pemerintah. Mitra pembangunan utama adalah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), badan-badan PBB (khususnya UNAIDS), World Health Organization, badan pembangunan bilateral besar dan Global Fund untuk memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria. Organisasi non-pemerintah juga menawarkan pelayanan yang penting dan informasi. Meskipun pinjaman kumulatif untuk HIV/AIDS di wilayah ini mencapai lebih dari 100 juta dollar, yang membuat Bank Dunia menjadi donor proyek HIV/AIDS yang penting, struktur proyek dalam menghadapi HIV/AIDS berubah dengan cepat dan akan berpengaruh pada pola pendanaan Bank Dunia. Global Fund menyalurkan dana yang besar kepada negara-negara yang sering kali kekurangan kapasitas untuk melaksanakan atau mendukung program. Tetapi badan donor ini hanya memberikan dana dan tidak dirancang untuk membantu implementasi program. Akibatnya timbul kebutuhan baru baik pada pemerintah maupun donor. Bantuan implementasi dan bantuan teknis harus diberikan oleh badan lainnya, seperti badan bilateral, bank dan donor lain. Situasi yang berubah ini mempersulit prediksi peran pasti Bank Dunia di wilayah ini, terutama dalam kaitannya dengan kebutuhan atas pinjaman/hibah Bank Dunia untuk HIV/AIDS. Namun demikian, Bank Dunia tetap dapat memainkan peranan penting dalam mobilisasi sumber daya untuk HIV/AIDS walaupun terjadi peningkatan dana hibah yang diberikan melalui Global Fund dan badan bilateral lainnya. Kebutuhan akan bantuan untuk melaksanakan analisa dan advokasi serta upaya capacity building juga kemungkinan akan meningkat. Bank Dunia akan meneruskan perannya sebagai pemersatu berbagai sektor, meneruskan keberadaannya di berbagai negara dan program multisektoralnya. 9 Lima Tantangan Utama Wilayah Asia Timur dan Pasifik dapat mencegah epidemi HIV/AIDS yang besar jika negara-negara di wilayah ini memperkenalkan program HIV yang efektif untuk menjawab lima tantangan utama: Dukungan politis dan multisektoral. Karena sensitivitas penyakit ini, komitmen politis merupakan kunci utama program HIV/AIDS yang efektif. Pencegahan HIV di antara kelompok yang terpinggirkan secara sosial membutuhkan respon multisektoral, khususnya untuk mendapatkan kondisi legal yang kondusif yang didukung oleh penegakan hukum. Surveilans, monitoring dan evaluasi Kesehatan Masyarakat. Pengetahuan mengenai jumlah pasti penderita HIV dan orang dengan perilaku berisiko tinggi sangat tebatas. Perlu lebih banyak informasi untuk memperkirakan potensi pertumbuhan epidemi dan kemungkinan mengalokasikan sumber daya dan upaya yang sesuai. Pencegahan. Pencegahan telah terbukti sebagai metode yang tepat guna untuk menekan epidemi. Terdapat kemungkinan yang luas untuk meningkatkan pencegahan HIV, terutama di antara kelompok dengan perilaku berisiko tinggi (penjaja seks komersial, penyalahguna napza suntik, pria yang berhubungan seks dengan pria, dan pekerja migran). Pelayanan, dukungan dan perawatan. Kebutuhan atas terapi retroviral meningkat di seluruh wilayah. Pengobatan juga harus meliputi perawatan dan dukungan ­ termasuk dukungan psikososial, konseling dan tes sularela, dan perawatan untuk pasien dalam kondisi terminal. Penyediaan Pelayanan Kesehatan. Pencegahan serta perawatan, dukungan dan pengobatan, harus disediakan oleh sistem pelayanan kesehatan publik dan pelayanan sosial, bersama-sama dengan sektor swasta, termasuk organisasi non-pemerintah. Terdapat kebutuhan yang nyata untuk memantapkan dan meningkatkan kapasitas dalam merespon kebutuhan yang timbul akibat epidemi. Respon Strategis Dalam merespon tantangan ini, Bank Dunia menyusun strategi khususnya untuk setiap negara, berdasarkan kebutuhan masing-masing negara dan tingkat epideminya. Strategi HIV untuk berbagai negara ini akan menjadi 10 dasar keterlibatan Bank Dunia. Strategi ini akan dirancang sejalan dengan rencana strategi nasional HIV yang disusun oleh pemerintah dan Country Asisstance Strategy Bank Dunia. Strategi HIV ini merupakan rencana kerja spesifik yang mencakup hal-hal sebagai berikut: kegiatan analitis dan advokasi, pemberian pinjaman, dan kegiatan regional. Rancangannya fleksibel dan inovatif, dan terfokus pada lima tantangan utama: Komitmen politis dan dukungan multisektoral Salah satu bagian penting dalam mencapai kemajuan dalam program HIV/AIDS adalah pemanfaatan komunikasi untuk membangun kesepakatan dan komitmen politis pada spektrum yang luas yang meliputi berbagai sektor (seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain) dan meningkatkan kesadaran masyarakat serta mendukung program preventif HIV/AIDS di suatu negara. Kegiatan analitis dan pemberian pinjaman/hibah akan membantu penentuan stakeholder utama, tingkat kepentingan dan latar belakang institusionalnya. Kegiatan tersebut juga akan membantu Bank Dunia dalam menentukan sektor-sektor utama agar dapat memadukan pendekatan multisektoral di suatu negara secara lebih baik. Surveilans kesehatan masyarakat serta Monitoring dan Evaluasi Surveilans kesehatan masyarakat. Kebanyakan negara, tidak memiliki estimasi yang baik mengenai jumlah penyalahguna napza suntik dan penjaja seks komersial serta persentase pelanggannya. Untuk memperkirakan pertumbuhan epidemi, orang perlu mengetahui besarnya populasi berisiko serta struktur tumpang tindih (overlap) di antara kelompok-kelompok dengan perilaku berisiko-tinggi. Informasi semacam ini jarang diketahui karena dianggap tabu, kadang kala melibatkan perilaku yang melawan hukum dan populasinya tersembunyi. Untuk tujuan tersebut, beberapa metode perlu dipakai, termasuk sistem informasi rutin dari berbagai sumber, survei dan riset kualitatif. Surveilans perilaku yang teratur, riset ilmu sosial terhadap perilaku seksual dan penggunaan napza, serta peningkatkan kapasitas dalam penelitian mengenali hal tersebut di universitas dan institusi pemerintah setempat, memerlukan dana lebih besar. Monitoring dan Evaluasi. Satu tujuan utama yang ingin dicapai adalah membantu negara dalam memonitor dan mengevaluasi efektivitas program HIV/AIDS. Salah satu unsur dari upaya ini adalah dialog kebijakan dengan pemerintah mengenai dana yang digunakan untuk surveilans dan pencegahan HIV/AIDS pada kelompok risiko-tinggi melalui 11 pengembangan National Health Accounts untuk HIV/AIDS. Bank Dunia juga akan bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sistem monitoring dan evaluasi yang mencakup intervensi pencegahan dan pengobatan, dukungan serta pengobatan. Selain itu, Bank Dunia juga membantu sejumlah negara dalam mengembangkan pendekatan untuk sistem monitoring dan evaluasi di tingkat lokal melalui Global AIDS Monitoring and Evaluation Team.7 Pencegahan Sejumlah program pencegahan bagii kelompok risiko-tinggi memang sudah ada, namun biasanya hanya berbentuk proyek-proyek kecil. Yang penting adalah bekerja dengan pihak pemerintah untuk memahami besaran yang dibutuhkan agar program pencegahan dapat memberikan dampak epidemiologis. Yang tak kalah penting adalah memahami jaringan seksual dan pemakai napza serta tumpang-tindihnya, agar dapat diketahui potensi pertumbuhan epideminya dan bagaimana melakukan intervensi yang efektif. Selain itu, juga ada epidemi penyakit infeksi menular seksual (PMS) yang cukup mengkhawatirkan di wilayah ini, yang tampaknya terabaikan dan tentunya perlu mendapat perhatian lebih. Ada juga risiko bahwa dengan berjalannya waktu, perhatian terhadap program-program pencegahan menjadi berkurang. Penting sekali untuk menjaga dan memantapkan upaya intervensi semacam itu sebagai pilar utama dalam memerangi AIDS. Pelayanan, Dukungan dan Pengobatan Berbagai analisis diperlukan untuk mengetahui bagaimana menjalankan terapi antiretroviral dalam konteks sistem pelayanan yang relatif lemah, termasuk sektor swasta. Selanjutnya, terapi antiretroviral perlu dimasukkan ke dalam sistem pelayanan dan dukungan, termasuk pelayanan sosial dan perawatan bagi pasien dalam kondisi terminal. Selain itu, konseling dan tes sukarela dapat membantu pengelolaan klinis dini terhadap HIV, dan mendukung upaya pencegahan atau penurunan risiko. Penyediaan pelayanan kesehatan Bank Dunia akan membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan yang lebih baik; baik untuk masyarakat maupun untuk pihak swasta, untuk meningkatkan akses ke pelayanan, dukungan dan perawatan. Ini berarti kebutuhan terhadap terapi antiretroviral yang sekarang dipenuhi oleh pihak swasta, akan perlu diperhitungkan. Selain itu, penting pula memperkuat koordinasi antara program-program TB dan HIV/AIDS untuk mencapai efektivitas dan efisiensi yang maksimum. Akhirnya, pemantapan sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh serta kapasitas penyerapan dana di 12 pihak pemerintah merupakan kunci dalam penyelenggaraan intervensi bagi HIV/AIDS. Kegiatan analitis, pemberian pinjaman (hibah) dan aktivitas regional Pekerjaan analitis akan difokuskan pada pengumpulan informasi dan tukar menukar informasi mengenai lima tantangan utama. Ini akan mencakup hal-hal yang bersifat spesifik baik bagi negara maupun wilayah yang bersangkutan. Pemberian pinjaman (hibah) Bank Dunia juga akan dipandu oleh kebutuhan negara dan dipandu oleh Country Assistance Strategy masing-masing negara. Bank Dunia juga akan memperkuat kolaborasi dengan sektor-sektor lain dan mengarusutamakan (mainstreaming) HIV/AIDS di proyek-proyek pinjaman lainnya, seperti dalam sektor prasarana dan pendidikan. Terdepat banyak intrumen pinjaman dan pilihan bagi negara penerima dalam menyikapi sifat multisektoral dari penyakit ini dan kebutuhan yang beragam antar wilayah. Hal lain yang merupakan nilai tambah adalah pengembangan instrumen regional yang dapat dipakai oleh sekelompok negara dalam koordinasi dengan mitra lain. Yang termasuk di sini adalah pekerjaan analitis, inisiatif dalam berbagi pengetahuan, dan program-program serupa lainnya. Dalam hal ini, wilayah Asia Timur dan Pasifik akan bekerjasama erat dengan World Bank Institute (WBI) untuk membangun kapasitas institusional bagi pengendalian HIV/AIDS di seluruh wilayah. Bank Dunia juga akan bermitra secara regional dengan para donor dan institusi lain. Bersama dengan UNAIDS, sektor-sektor kunci dalam pemerintah, dan dengan para mitra lainnya, akan dibentuk respon strategis negara dan regional terhadap HIV/AIDS. Kesimpulan Besarnya skala epidemi HIV/AIDS membutuhkan kerjasama berkelanjutan yang dinamis diantara para stakeholders. Diharapkan dokumen strategi ini­yang ditarik dari pengalaman Bank Dunia serta banyak mitra kerjanya­dapat menyumbangkan informasi bagi wacana dan tindakan di masa depan. Catatan 1Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Papua Nugini, Filipina, Thailand, Timor Leste, Vietnam, dan Negara-negara kepulauan Pasifik (Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Serikat Negara- Negara Micronesia, Palau, Samoa, Solomon Islands, Tonga, dan Vanuatu) 13 2Pada tahapan yang berbeda, berbagai perilaku berisiko akan menjadi faktor penentu arah epidemi. Di sebagian besar negara di Wilayah Asia Timur dan Pasifik seperti Vietnam, Cina, Indonesia, Myanmar, pada awalnya penggunaan napza suntik menjadi penyebab utama epidemi, yang bertanggungjawab atas tingginya peningkatan HIV di negara-negara tersebut. Setidaknya dapat diperkirakan untuk masa depan, bahwa epidemi-ganda HIV di antara penjaja seks komersial dan penyalahguna napza suntik akan menjadi karakteristik kunci HIV di wilayah Asia Timur dan Pasifik. 3Besaran epidemi HIV/AIDS dapat dilihat dari klasifikasi kasar yang didasarkan pada tingkat prevalensi, yaitu jumlah total penderita terhadap populasi yang berisiko. Namun perlu dicatat, ada berbagai perbedaan dalam data HIV. Untuk memastikan adanya standarisasi minimal, data yang digunakan sedapat mungkin diambil dari data UNAIDS 2002. Sumber informasi lain dapat memberikan klasifikasi yang agak berbeda (mis, Papua Nugini dapat diklasifikasikan sebagai wilayah epidemi generalized/meluas, berdasarkan surveilans nasional terakhir). Kategori untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik adalah sebagai berikut: Meluas/Generalized: Kamboja, Thailand, dan Myanmar. HIV mendekati jenuh di populasi-populasi berperilaku risiko-tinggi, dan tingkat HIV lebih besar dari 1 persen di populasi umum, ditentukan berdasarkan pengunjung klinik antenatal. Terkonsentrasi/Concentrated: Cina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini dan Vietnam. Prevalensi HIV melebihi 5 persen dalam satu atau lebih sub- populasi yang diduga berperilaku risiko-tinggi, sesuai hasil surveilans sentinel pada kelompok-kelompok tertentu, seperti penjaja seks komersial dan penyalahguna napza suntik, tetapi prevalensi dalam populasi umum kurang dari 1 persen. Rendah/Low level: Lao PDR, Mongolia, Negara-Negara Kepulauan Pasifik, Filipina, dan Timor-Leste. Prevalensi HIV kurang dari 5 persen di semua sub-populasi yang diperkirakan memiliki perilaku berisiko-tinggi. 4WHO. 2003. WHO Report 2003: Global Tuberculosis Control: Surveillance, Planning, Financing, World Health Organization. Geneva. 5UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS). 2000. Report on the Global HIV/AIDS Epidemic. Geneva. 6China MOH, UNAIDS. 2003. A Joint Assessment of HIV/AIDS Prevention, Treatment and Care in China. 7Menindaklanjuti kegiatan ekstensif untuk mencapai kesepakatan dalam penentuan indikator inti untuk monitoring dan evaluasi program dan kebijakan HIV/AIDS, "keluarga" UNAIDS mendirikan GAMET (Global AIDS Monitoring and Evaluation Support Team), yang berpusat di World Bank Institute. Institusi utama lainnya, seperti GFATM, organisasi 14 bilateral seperti USAID, dan institusi teknis seperti U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), merupakan bagian dari kemitraan ini. GAMET aktif bekerja di berbagai negara bersama para donor untuk memperkuat kapasitas monev di tingkat negara, berdasarkan pedoman normatif dari UNAIDS' Monitoring and Evaluation Reference Group. Fokus GAMET, dan juga beberapa agen lainnya, adalah membantu suatu negara dalam membangun dan memakai sistem monev sehingga negara tersebut dapat melaporkan kepada dunia internasional, dan yang tak kalah penting, mengidentifikasi serta membuat perubahan taktis yang dipandang perlu agar program dan kebijakan HIV/AIDS dapat menjadi lebih efektif. 15